Makalah Hadits Tahlili
”Makruhnya Mengerjakan Shalat pada Saat Makanan telah dihidangkan
serta Menahan Kencing dan BAB”
Disusun oleh :
Raisul Wadhifuddin :4715137100
Rochmat Wahyu S. :4715131240
Jurusan Ilmu Agama Islam
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
2015
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul ”Makruhnya Mengerjakan Shalat pada Saat Makanan
telah dihidangkan serta Menahan Kencing dan BAB “
Dalam pembuatan makalah ini mulai dari perancangan, pencarian bahan, sampai
penulisan, penulis mendapat bantuan, saran, petunjuk, dan bimbingan dari banyak
pihak baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih dan kepada teman-teman yang ikut
berpartisipasi dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca untuk perbaikan di masa yang akan datang, dan penulis juga berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Jakarta,
28 Mei 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Shalat lima waktu adalah shalat yang wajib dilaksanakan oleh tiap kaum
muslimin. Tatkala ia sedang sehat ataupun sakit, di dalam agama islam semua
tata cara peribadatan telah diatur dengan sedemikian rupa, termasuk shalat fardhu
lima waktu. Salah satu aturan yang “mungkin” sering diabaikan oleh kaum
muslimin ialah “makruh” mengerjakan shalat ketika makanan telah dihidangkan dan
dan menahan kencing serta buang air besar. Karena Allah berfirman didalam
Qur’an
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ
وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Artinya: “Dan mintalah pertolongan
(kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) sholat. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,” (QS.al
Baqarah(2):45)
Disini peneliti ingin mengutarakan
beberapa penjelasan/ “Syarah” terkait hadits shahih muslim “Makruhnya Mengerjakan Shalat pada Saat
Makanan telah dihidangkan serta Menahan Kencing dan BAB” walaupun
shalat fardu adalah hal yang penting dikerjakan di awal waktu, namun itu semua
“kurang” sempurna jika dikerjakan pada saat lapardan tergesah-gesah karena
ingin mengeluarkan hajat. Karena pada intinya Rasulullah SAW mengajarkan untuk
makan terlebih dahulu agar kekhusyu’kan shalat tidak terganggu dengan haditsnya
makanan.
Maka dari itu tema yang dipilih pada diskusi
kali ini yaitu karena ingin mengajak para pembaca untuk lebih memahami
Al-Qur’an dan Hadits dalam melaksanakan berbagai macam peribadatan khusunya
dalammelaksanakan shalat.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Makruh Mengerjakan Sholat ketika Makanan telah Dihidangkan dan Menahan
Kencing dan BAB.
Hadits Imam Muslim No.869
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ حَدَّثَنَا حَاتِمٌ هُوَ ابْنُ إِسْمَعِيلَ عَنْ
يَعْقُوبَ بْنِ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ أَبِي عَتِيقٍ قَالَ تَحَدَّثْتُ أَنَا
وَالْقَاسِمُ عِنْدَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا حَدِيثًا وَكَانَ
الْقَاسِمُ رَجُلًا لَحَّانَةً وَكَانَ لِأُمِّ وَلَدٍ فَقَالَتْ لَهُ عَائِشَةُ
مَا لَكَ لَا تَحَدَّثُ كَمَا يَتَحَدَّثُ ابْنُ أَخِي هَذَا أَمَا إِنِّي قَدْ
عَلِمْتُ مِنْ أَيْنَ أُتِيتَ هَذَا أَدَّبَتْهُ أُمُّهُ وَأَنْتَ أَدَّبَتْكَ
أُمُّكَ قَالَ فَغَضِبَ الْقَاسِمُ وَأَضَبَّ عَلَيْهَا فَلَمَّا رَأَى مَائِدَةَ
عَائِشَةَ قَدْ أُتِيَ بِهَا قَامَ قَالَتْ أَيْنَ قَالَ أُصَلِّي قَالَتْ اجْلِسْ
قَالَ إِنِّي أُصَلِّي قَالَتْ اجْلِسْ غُدَرُ إِنِّي
سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا صَلَاةَ
بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا
إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنِي أَبُو حَزْرَةَ الْقَاصُّ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي عَتِيقٍ عَنْ عَائِشَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ وَلَمْ يَذْكُرْ فِي الْحَدِيثِ قِصَّةَ الْقَاسِمِ
Terjemahan: Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Abbad telah menceritakan kepada kami
Hatim, dia adalah Ibnu Ismail dari Ya'qub bin Mujahid dari Ibnu Abi 'Atiq dia
berkata, "(Pada suatu ketika) aku bercakap-cakap dengan al-Qasim di sisi
Aisyah Radhiyallahu'anhu. Al-Qasim adalah seorang laki-laki yang gagu (kurang
tersusun tutur katanya), dan ia anak satu-satunya bagi ibunya. Aisyah bertanya
kepadanya, 'Mengapa kamu tidak dapat bicara seperti keponakanku ini? ' Aku tahu
sebabnya dari permasalahan apa. Keponakanku ini dididik oleh ibunya, sedangkan
kamu dididik oleh ibumu.' Dia berkata, "Maka al-Qasim marah dan jengkel
kepada Aisyah. Tatkala dia melihat meja Aisyah yang telah dihidangkan makanan,
maka dia pergi. Maka Aisyah bertanya, 'Hendak ke mana kamu? ' Jawab al-Qasim,
'Aku hendak pergi shalat.' Kata Aisyah, 'Duduklah dahulu! ' Jawab al-Qasim,
'Aku hendak pergi shalat'. Kata Aisyah, 'Duduklah dahulu! Aku mendengar
Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam, bersabda, 'Tidak sempurna shalat
seseorang apabila makanan yang telah dihidangkan, atau apabila dia menahan
buang air besar atau kecil'." Telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Ayyub dan Qutaibah bin Sa'id serta Ibnu Hujr mereka berkata, telah menceritakan
kepada kami Ismail, dan dia adalah Ibnu Ja'far telah mengabarkan kepadaku Abu
Hazrah al-Qash dari Abdullah bin Abi 'Atiq dari Aisyah radhiyallahu'anhu dari
Nabi Shallallahu'alaihiwasallam dengan hadits semisalnya, dan dia tidak
menyebutkan kisah al-Qasim dalam hadits tersebut."
2. Sanad
Jalur 1 : Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq >> Abdullah bin Muhammad
Abi 'Atik bin 'Abdur Rahman bin Abi Bakar >> Ya'qub bin Mujahid >>
Hatim bin Isma'il bin Ubay >> Muhammad bin 'Abbad Bin Az Zibriqan
Jalur 2 : : Aisyah binti Abi Bakar Ash
Shiddiq >> Abdullah bin Muhammad Abi 'Atik bin 'Abdur Rahman bin Abi
Bakar >> Ya'qub bin Mujahid >> Isma'il bin Ja'far bin Abi Katsir
>> Yahya bin Ayyub
Jalur 3 : Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq >> Abdullah bin Muhammad Abi
'Atik bin 'Abdur Rahman bin Abi Bakar >> Ya'qub bin Mujahid >>
Isma'il bin Ja'far bin Abi Katsir >> Qutaibah bin Sa'id bin Jamil bin
Tharif bin 'Abdullah
Jalur 4 : Aisyah binti Abi Bakar Ash Shiddiq >> Abdullah bin Muhammad Abi
'Atik bin 'Abdur Rahman bin Abi Bakar >> Ya'qub bin Mujahid >>
Isma'il bin Ja'far bin Abi Katsir >> Ali bin Hajar bin Iyas.
3. Hadits Pembanding
Hadits Riwayat Abu Daud : 82
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَنْبَلٍ
وَمُسَدَّدٌ وَمُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى الْمَعْنَى قَالُوا حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
سَعِيدٍ عَنْ أَبِي حَزْرَة حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ ابْنُ
عِيسَى فِي حَدِيثِهِ ابْنُ أَبِي بَكْرٍ ثُمَّ اتَّفَقُوا أَخُو الْقَاسِمِ بْنِ
مُحَمَّدٍ قَالَ
كُنَّا عِنْدَ عَائِشَةَ فَجِيءَ بِطَعَامِهَا
فَقَامَ الْقَاسِمُ يُصَلِّي فَقَالَتْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يُصَلَّى بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا وَهُوَ
يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
Terjemahan : Telah menceritakan kepada kami Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal dan Musaddad dan Muhammad bin Isa dengan makna yang
sama, mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Abu
Hajrah, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad, Ibnu Isa berkata;
Di dalam haditsnya terdapat Ibnu Abi Bakr, mereka (ketiganya) bersepakat seraya
mengatakan bahwa dia (Abdullah bin Muhammad) adalah saudara Al Qasim bin
Muhammad. Dia berkata; Kami pernah bersama Aisyah, lalu didatangkanlah
makanannya, kemudian Al Qasim bangkit untuk shalat, maka Aisyah berkata; Saya
pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Janganlah seseorang shalat ketika makanan telah dihidangkan dan jangan
pula ketika menahan buang air besar dan kencing."
4. Penjelasan Hadits
A. Keutamaan Shalat
Mengenai keutamaan dan keistimewaan shalat dapat kita perhatikan
dari berbagai ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasul dan dapat pula ditinjau dari
berbagai hal, diantaranya : Shalat lima waktu diwajibkan secara langsung pada
malam Isra Mi’raj. Sebagaimana telah kita ketahui perintah shalat lima waktu
langsung diterima oleh Nabi SAW pada waktu beliau di Isra’kan dan di-Mi’rajkan
oleh Allah SWT. Yaitu diperjalankannya beliau oleh-Nya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, dan dari Masjidil Aqsa ke Sidratil Muntaha,
suatu tempat yang ghaib yang tidak mungkin dapat dijangkau oleh panca indera.
Dalam peristiwa sangat penting itulah beliau menerima kewajiban shalat lima
waktu.
1.)
Shalat sebagai tiang agama.
Dalam
suatu hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Umar ra disebutkan bahwa
shalat adalah merupakan tiang agama. Lengkapnya hadits ini sebagai berikut : “Shalat
itu adalah tiang agama, siapa yang menegakkannya berarti telah menegakkan agama
dan siapa yang meninggalkannya berarti merobohkan agama”. Dalam hadits lain
disebutkan bahwa shalat adalah merupakan tonggak agama Islam, demikian hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Bilal bin Yahya.
2.)
Shalat adalah kewajiban yang pertama kali difardhukan sebelum
ibadat-ibadat badaniah yang lain.
3.)
Shalat adalah akhir wasiat Nabi.
Diriwayatkan
oleh Ahmad dalam Risalah ash-Shalah diterangkan bahwa nabi Muhammad SAW
mewasiatkan kepada umatnya mengerjakan shalat dengan baik menjelang beliau
wafat. “Ingatlah akan Allah, ingatlah akan Allah, terhadap shalat, dan
terhadap hamba sahaya yang kau miliki”. Keistimewaan shalat sebagaimana
yang telah disebutkan dalam salah satu akhir dari wasiat Nabi SAW, adalah
sebagai berikut : “Diantara akhir wasiat Nabi ialah : Kerjakanlah shalat,
lestarikanlah shalat, dan berbuat baiklah kepada hamba sahayamu”. (H.R. Ahmad).
Sayyidina Ali berkata : “Akhir perkataan Nabi SAW adalah :Peliharalah shalat
dan bertaqwalah kepada Allah terhadap hamba sahayamu”. (H.R. Ahmad).
4.)
Shalat merupakan amal ibadah yang pertama kali dihisab pada hari
kiamat.
Mengenai
hal ini disebutkan sabda Nabi : “Pertama kali dihisab dari seorang manusia
dihari kiamat adalah shalatnya, jika diterima maka diterimalah amal-amal yang
lain. Jika ditolak maka ditolaklah amal-amal yang lain”. (H.R. Thabrani).
Dalam sabdanya yang lain disebutkan : “Yang mula-mula dicabut dari manusia
ialah amanah dan yang akhir tinggal dari agama mereka adalah shalat. Betapa
banyak mereka yang shalat, mereka tidak memperoleh apa-apa dari shalatnya”.
(H.R. Hakim).
5.)
Shalat merupakan syiar Islam dan merupakan dialog antara hamba
dengan Tuhannya.
Dalam
shalat seorang hamba melakukan dialog dengan Allah SWT misalnya dalam bacaan
do’a iftitah, dalam al-Fatihah, dalam tasbih, dalam takbir dan sebagainya.
Dalam hadits disebutkan : “Hamba Allah yang terdekat dengan Tuhannya ialah
pada saat ia bersujud maka perbanyaklah do’a dalam sujud itu”. (H.R. Muslim).
Mengenai shalat sebagai syiar agama atau syiar Islam dapat kita ketahui dari
kegiatan shalat tersebut, dimana dijumpai banyak orang yang melakukan shalat
jama’ah di masjid-masjid maka akan nampaklah syiar Islam. Hal ini adalah
merupakan peran penting di bidang da’wah. Shalat juga menjalin hubungan sesama
manusia, dalam shalat berjama’ah manusia satu sama lain saling mengadakan
hubungan sosial dan sebagainya, dan dalam shalat juga seorang manusia muslim
mendo’akan manusia muslim lain. Seperti disebutkan dalam bacaan tasyahud
“assalamu’alaina wa’ala ibadilla hissolihin”, kesejahteraan dan keselamatan atas
kami dan atas hamba-hamba Allah yang shaleh.
B.
Manfaat Shalat 5 Waktu
Shalat merupakan salah satu Rukun
Islam dlm ajaran Islam dan setiap muslim diseluruh dunia diwajibkan untuk
menunaikan atau mengerjakan Shalat karena Shalat merupakan kewajiban, Adapun
Shalat sendiri terdiri 5 Waktu Shalat Wajib yg antara lain Shalat Maghrib,
Shalat Isya, Shalat Subuh, Shalat Dhuhur dan Shalat Asyar. Ke 5 ( Lima ) Shalat
Wajib tersebut mempunyai beberapa manfaat dan keutamaan bagi para muslim
seperti yg telah di janjikan oleh Alloh Swt.
Shalat 5 Waktu merupakan ibadah yg
Alloh Ta’ala syariatkan kpd Nabi Muhammad saw secara langsung tanpa adanya
perantara malaikat, berbeda halnya dg kewajiiban lainnya yg diwajibkan melalui
perantara Malaikat sehingga kita bisa mengambil kesimpulan sendiri bahwa memang
Shalat merupakan hal yg sangat penting sampai2 Alloh menyampaikan sendirii kpd
Nabi Muhammad Saw.
Adapun Manfaat Shalat
Fardhu secara umum mempunyai keutamaan untuk menghapus semua dosa dan
kesalahan yg telah kita perbuat, seperti Sabda Nabi Muhammad Saw yg berbunyi :
” Tidaklah seorang muslim didatangi Shalat Fardhu lalu dia membaguskan
wudlu-nya dan khusyu dlm shalat-nya, melainkan itu menjadii penebus dosa – dosa
terdahulu, selama diaa tidak melakukan dosa besar dan itu berlaku pd sepanjang
zaman”..
1.) Manfaat dan Keutamaan
Shalat Maghrib
Shalat Maghrib itu adlh saat di
mana taubat Nabi Adam As diterima dan Seorang Mukmin jika mengerjakan suatu
Shalat Maghrib yg dilakukan dg benar – benar ikhlas maka memintalah sesuatu
daripada Alloh, Maka Allah akan memperkenankan atau mengambulkan-nya.
2.)
Manfaat dan Keutamaan Shalat Isya
Sesuai dg Sabda Nabi Muhammad Saw yg
berbunyi : ” Shalat Isya (Atamah) katakan kubur itu adalah sangat gelap dan
begitu jg pd harii kiamat, maka seorang mukmiin yg berjalan dlm malam yg gelap
untuk pergi menunaikan shalat Isya berjamaah, maka Alloh Swt haramkan dirinya
daripada terkena nyala apii neraka dan diberikann kepadanya cahaya untuk
menyeberangii Titian Sirath “…
Adapun Sabda Nabi Muhammad Saw
tentang manfaat shalat subuh yang berbunyi : ” Shalat Subuh pula, jikaa
seseorang mukmin yg mengerjakan shalat subuh selama 40 hari secara berjamaah,
diberikan kepadanya oleh Alloh swt 3 kebebasan yaitu Dibebaskan daripada api
neraka dan dibebaskan dari nifaq.”
4.)
Manfaat dan Keutamaan Shalat Zhuhur
Saat Menyalanya Neraka Jahannam,
maka tidak seorang mukmin yg melakukan Shalat itu melainkan diharamkan atasnya
uap neraka jahannam itu pada hari kiamat.
5.)
Manfaat dan Keutamaan Shalat Ashar
Sabda Nabi Muhammad Saw lagi yg
berbunyi :” Manakala Shalat Ashar adalah saat dimana Nabi Adam A.s memakan buah
khuldi, Orang-orang mukmin yg mengerjakan Shalat Ashar akan diampunkan dosanya
seperti bayi yang baru lahir”.
Nabi Muhammad Saw bersabda lagi : ”
tidak akan masuk neraka seseorang yg shalat sebelum terbit mataharii dan
sebelum terbenamnya mataharii”. Kemudian Alloh Berfirman yg berbunyii : ”
Menjaga Shalat Subuh dan Ashar merupakan sebab terbesar masuk surga dan selamat
dari neraka”.
C.
Tingkatan ke Khusyukan dalam Sholat
Manusia dalam
melaksanakan shalat dikelompokkan menjadi lima tingkatan:
Pertama
:
tingkatan orang-orang yang zhalim terhadap dirinya, yaitu orang-orang yang
tidak menyempurnakan wudhu’nya, waktunya, batasan-batasannya dan
rukun-rukunnya.
Kedua
:
orang yang menjaga waktu shalatnya, batasan-batasannya, rukun-rukunnya dan
wudhu’nya, tetapi dia tidak berusaha melepaskan dirinya dari godaan, sehingga
dia hanyut dalam godaan dan berbagai macam fikiran yang timbul.
Ketiga
:
orang yang menjaga batasan-batasan shalat, rukun-rukunnya dan berusaha untuk
melawan godaan dan pemikiran yang muncul, akhirnya dia larut dalam usaha
melawan syetan supaya tidak mencuri shalatnya, maka berarti dia berada dalam
shalat dan jihad.
Keempat
:
orang yang melaksanakan shalat dengan menyempurnakan hak-haknya, rukun dan
batasan-batasannya, hatinya larut menjaga batasan-batasan dan hak-hak shalat
tersebut sehingga tidak ada yang luput, semua perhatiannya tercurah untuk
mendirikan dan menyempurnakan shalat sebagaimana mestinya , berarti hatinya
larut dalam shalat dan beribadah kepada Allah tabaaraka wata’ala.
Kelima
:
orang yang melaksanakan shalat seperti tingkatan ke empat tadi, ditambah lagi
dia meletakkan hatinya sepenuhnya di hadapan Allah ‘azza wajalla, dia melihat
kepada Allah dengan hatinya dan mengawasi-Nya, hatinya dipenuhi dengan rasa
cinta dan pengagungan kepada Allah, seolah-olah dia melihat dan
menyaksikan-Nya. Godaan-godaan sudah hilang darinya, sudah tidak ada lagi
godaan yang jadi penghalang antara dia dengan Tuhannya. Orang yang seperti ini
dibanding dengan yang lainnya jelas lebih utama sebagaimana perbedaan antara
langit dan bumi, karena dia dalam shalatnya sibuk dengan Tuhannya ‘azza
wajalla, dia tentram bersama-Nya.
Orang-orang di
tingkat pertama akan mendapat ‘iqab, yang kedua akan dihisab, yang ketiga
(shalatnya) jadi penghapus dosa-dosanya, yang ke empat mendapatkan balasan dan
yang kelima menjadi orang yang akan di dekatkan kepada Allah, karena dia
menjadikan ketentraman bersama Allah dalam shalatnya. Siapa saja yang tentram
hatinya dengan shalat di dunia ini, maka dia akan tentram juga di akhirat karena
dekat dengan Allah. Orang yang tentram hatinya bersama Allah di dunia, maka
hati-hati yang lainpun akan merasa tentram karenanya, sedangkan orang yang
tidak tentram hatinya bersama Allah maka jiwanya akan terpecah belah mengikuti
dunia dengan penuh kerugian.
D.
Syarah
(Apabila hidangan
malam telah tersedia,sementara waktu shalat telat dikumandangkan,maka santaplah
makanan kalian terlebih dahulu!) Kalimat hadits dia atas dalam riwayat
jalur yang lain disebutkan dengan menggunakan redaksi,(Apabila makan malam
telah tersedia dan waktu shalat telah tiba, maka mulailah makan terlebih dahulu
sebelum meunaikan ibadah shalat Magrib. Dan janganlah kalian tergesa-gesa
ketika menyantap hidangan makan malam kalian!)
Di dalam riwayat yang
lain disebutkan dengan menggunakan redaksi,(Jika makan malam salah seorang
dari kalian telat dihidangkan dan waktu shalat telah dikumandangkan, maka
mulailah dengan menyantap tersebut terlebih dahulu! Dan janganlah sekali-kali
kalian tergesa-gesa sampai benar-benar usai menyantapnya).
Di dalam riwayat lain
disebutkan juga dengan redaksi,(Tidak ada shalat yang didirikan sebelum
menyantap makanan [yang sudah tersedia]! Dan hendaklah seseorang juga tidak
menahan hajat buang air kecil atau buang hajat besar).
Di dalam beberapa redaksi
hadits diatas dapat disimpulkan keterangan tentang hukum makruh mengerjakan
shalat sebelum menyantap hidangan yang akan disantap. Karena hal itu bisa hati
seseorang menjadi tidak kosentrasi dan menghilangkan kekhusyu’kan ketika
shalat. Dalam hadits tersebut diatas juga disebutkan tentang hukum makruh
menahan buang air kecil maupun hajat besar. Sebab dengan menahan kedua hajat
manusia tersebut,bisa mengakibatkan seseorang tidak konsentrasi danmengurai
kekhusyu’an ketika shalat. Hukum makruh tersebut telah dikemukakan oleh
mayoritas rekan kami dan para ulama yang lain.
Dan hukum makruh ini
berlaku ketika waktu shalat masih tersedia cukup lapang.
Berbeda bila waktu shalat
yang tersedia sudah sangat sempit, sehingga kalau ia memilih untuk makan
terlebih dahulu, maka waktu shalatnya akan habis. Maka dalam kasus semacam ini,
ia tidak boleh mengakhirkan shalatnya. Hal ini juga tidak sama dengan pendapat
yang dikemukakan oleh Abu Sa’ad Al Mutawalli yang menyebutkan sebuah pendapat
dari beberapa orang kami. Menurut mereka, hendaklah seseorang menyantap makanan
yang telah tersedia dengan cara mengambil air wudhu terlebih dahulu walaupun
waktu shalat akhirnya sampai abis. Sebab tujuan utama shalat adalah dilakukan
secara khusyu’.
Jika seseorang tetap
mengerjakan shalat sebelum menyantap makanan yang telah tersedia, padahal waktu
shalat masih tersedia sangat lapang, maka ia dianggap telah melakukan perbuatan
makruh dan dan shalatnya tetap dianggap sah menurut pendapat kami dan pendapat
mayoritas ulama. Namun dalam hal ini ia disunahkan untuk mengulang ibadah
shalatnya sekali lagi. Sedangkan Al Qadhi Iyadh telah menukil keterangan dari
madzhab zhahirriyah yang mengatakan bahwa shalat orang tersebut menjadi batal.
Adapun keterangan yang
terkandung dalam riwayat hadits yang disebutkan berikutnya mengandung dalil
tentang terbentangnya waktu shalat Magrib yang cukup luas. Namun para ulama
masih memperselisihkan permasalahan ini. Kami akan membahas permasalahan ini
secara panjang lebar di dalam pembahasan waktu-waktu shalat, Insya Allahu
Ta’aala.
(Dan janganlah
sekali-kali tergesa-gesa sampai benar-benar usai menyantapnya). Redaksi
hadits ini menjadi dalil bahwa, hendaklah seseorang memenuhi hajat
fisiologisnya secara proporsional dan tidak tergesa-gesa. Cara hidup inilah
yang benar menurut ajaran islam. Adapun takwilan yang disebutkan oleh sebagian
rekan kami yang menganjurkan hendaklah seseorang menyantap makanan tersebut
hanya sesuap saja sebagai usaha untuk menghilangkan lapar yang ia rasakan, maka
bukanlah sebuah takwilan yang benar. Redaksi hadits diatas dengan tegas telah
membatalkan takwilan mereka tersebut.
Yang dimaksud dengan
Sufyan disini adalah perawi yang berkebangsaan Basrah. Dia merupakan seseorang
perawi tsiqah dan cukup terkenal. Ad-Daruquthni berkata, “Dia seorang perawi
tsiqah dapat dipercaya.” Abu Ali Al
Ghassani berkata, “Dia adalah seorang perawi yang tsiqah.” Dan, para ulama ahli
hadits menyangkal pendapat sebagian oarang yang menyangka bahwa ia adalah
perawi majhuul (tidak diketahui identitasnya dengan jelas).
Adapun Ibnu Atiq,ia
adalah Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq.
(Sementara Al Qasim
adalah seorang yang sering kali melakukan kesalahan dalam hal tata bahasa Arab)
kata lahhaanah maksudnya adalah oarang yang sering kali melakukan kesalahan di
dalam hal berbicara.
Al Qadhi berkata,
“Sebagian perawi ada ada yang meriwayatkan lafazh itu dengan menggunakan
redaksi luhnah. Maka kata luhnah sendiri tidak jauh berbeda dengan makna kata
lahhaanah.”
Sedangkan yang dimaksud
dengan Al Qasim dalam rangkaian matan hadits diatas adalah Al Qasim bin
Muhammad Abu Bakar Ash-Shiddiq.
(Maka Al Qasim marah, dan
ia pun merasa dendam kepada Aisyah atas perkataan tersebut) lafazh adhabba
makananya adalah merasa dendam dan marah.
(Duduklah, wahai orang
yang tiak menepati janji!) maksdu kata ghudar dalam matan hadits dia atas
adalah yaa ghudaru.
Para ulama ahli bahasa
mengatakan, bahwa maka kata ghudar adalah tidak menepati janji.
Sedangkan oarang yang suka tidak menepati janji disebut dengan istilah ghaadir
atau ghudar. Kata ini sering kali dipergunakan untuk memanggil
seseorang dengan maksud melontarkan cacian.
Sedangkan jika Aisyah
melontarkan kata ghudar dalam redaksi hadist diatas, tidak lain karena Al Qasim
pada dasarnya diperintahkan untuk menghormati Aisyah. Sebab beliau adalah Ummul
Mu’miniin yang sekaligus bibinya sendiri dan juga memiliki usia lebih tua. Maka
dalam hal ini Aisyah sangat pantas untuk menasehati untuk mendidiknya denganh
baik. Oleh karena itu, sebenarnya Al Qasim tetap harus memuliakan Aisyah dan
tidak marah kepadanya.
Namun Abu Hazrah yang
sebenarnya adalah Ya’qubbin Mujahid. Dia tidak lain adalah Ya’qub bin Mujahid
yang disebutkan dalam rangkaian sanad haits yang pertama. Ada yang
mengatakan ia memiliki dua nama kuniyah: Abu Yusuf dan Abu Hazrah. Namun
akhirnya ia mendapatkan julukan dengan istilah Abu Hazrah. Wallahu a’lam.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Di dalam
beberapa redaksi hadits diatas dapat disimpulkan keterangan tentang hukum
makruh mengerjakan shalat sebelum menyantap hidangan yang akan disantap. Karena
hal itu bisa hati seseorang menjadi tidak kosentrasi dan menghilangkan
kekhusyu’kan ketika shalat. Dalam hadits tersebut diatas juga disebutkan
tentang hukum makruh menahan buang air kecil maupun hajat besar. Sebab dengan
menahan kedua hajat manusia tersebut,bisa mengakibatkan seseorang tidak
konsentrasi danmengurai kekhusyu’an ketika shalat. Hukum makruh tersebut telah
dikemukakan oleh mayoritas rekan kami dan para ulama yang lain.
Dan hukum
makruh ini berlaku ketika waktu shalat masih tersedia cukup lapang.
Berbeda bila
waktu shalat yang tersedia sudah sangat sempit, sehingga kalau ia memilih untuk
makan terlebih dahulu, maka waktu shalatnya akan habis. Maka dalam kasus
semacam ini, ia tidak boleh mengakhirkan shalatnya.
Lalu hadits
ini bersifat Shahih Ahad Masyhur karena
para perawinya berjumlah kurang dari 10
namun hadits ini bersifat masyhur karena hadits ini terkenal dikalangan
masyarakat setempat lalu hadits ini bisa dikatakan Shahih karena perwai nya
saling bersambung satu sama lain serta para perawi tersebut memiliki
sifat-sifat yang baik. Lalu hadits ini
bersifat mauquf karena bersandar kepada Shahabat (Aisyah).
DAFTAR PUSTAKA
Lidwa.net
Google.com
Kitab Shahih Bukhari Muslim Jilid 5
Lampiran
Biografi para perawi
|
ULAMA
|
KOMENTAR
|
Shahabat
|
Nama Lengkap : Abdullah bin Muhammad
Abi 'Atik bin 'Abdur Rahman bin Abi Bakar
Kalangan : Tabi'in kalangan pertengahan
Kuniyah :
Negeri semasa hidup : Madinah
Wafat :
ULAMA
|
KOMENTAR
|
Al 'Ajli
|
Tsiqah
|
Ibnu Hibban
|
Tsiqah
|
Adz Dzahabi
|
Tsiqah
|
|
ULAMA
|
KOMENTAR
|
Abu Zur'ah
|
la ba`sa bih
|
An Nasa'i
|
Tsiqah
|
Ibnu Hibban
|
disebutkan dalam 'ats tsiqaat
|
Ibnu Hajar al 'Asqalani
|
Shaduuq
|
Adz Dzahabi
|
Tsiqah
|
ULAMA
|
KOMENTAR
|
An Nasa'i
|
Laisa bihi ba's
|
Al 'Ajli
|
Tsiqah
|
Adz Dzahabi
|
Tsiqah
|
|
ULAMA
|
KOMENTAR
|
|
Yahya bin Ma'in
|
la ba`sa bih
|
|
Ibnu Hibban
|
disebutkan dalam 'ats tsiqaat
|
|
Ibnu Hajar al 'Asqalani
|
Shaduuq
|
|
|
ULAMA
Ahmad bin Hambal
|
KOMENTAR
Tsiqah
|
Abbas Ad Dauri
|
"Tsiqah, lebih tsabit dari bnu
Abi Hazim, Ad Darawardi, dan Abu
Dlamrah"
|
Muhammad bin Sa'd
|
Tsiqah
|
Abdurrahman bin Yusuf
|
Shaduuq
|
Ibnul Madini
|
Tsiqah
|
Ibnu Abi Khaitsamah
|
"Tsiqah ma`mun, qolilul khata`, dan shaduq"
|
Al Khalili
|
Tsiqah syarikan malikan fi aktsari syuyuhihi
|
Al Hakim
|
Tsiqah syarikan malikan fi aktsari syuyuhihi
|
Ibnu Hibban
|
disebutkan dalam 'ats tsiqaat
|
An Nasa'i
|
Tsiqah
|
Yahya bin Ma'in
|
Tsiqah
|
|
ULAMA
|
KOMENTAR
|
Ibnul Madini
|
Shaduuq
|
Abu Hatim
|
Shaduuq
|
Ibnu Hibban
|
disebutkan dalam
'ats tsiqaat
|
Ibnu Qani'
|
tsiqah ma`mun
|
Ibnu Hajar al
'Asqalani
|
Tsiqah
|
Adz Dzahabi
|
Tsiqah
|
|
ULAMA
|
KOMENTAR
|
Abu Hatim
|
Tsiqah
|
An Nasa'i
|
Tsiqah
|
Yahya bin Ma'in
|
Tsiqah
|
Ibnu Hajar al 'Asqalani
|
Tsiqah Tsabat
|
|
ULAMA
|
KOMENTAR
|
An Nasa'i
|
tsiqah ma'mun hafid
|
Ibnu Hajar
|
tsiqah hafid
|
Adz Dzahabi
|
Hafizh
|
Al Hakim
|
syaikh
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar